Pengalaman Gagal Mendarat, Berbahayakah?

Bersama Co-Pilot Tania yang mendaratkan Pesawat kami

Perjalanan saya ke Labuan Bajo pertengahan November 2018 lalu memiliki kenangan tak terlupakan. Untuk pertama kalinya, saya merasakan bagaimana sebuah pesawat gagal mendarat karena angin kencang, atau dalam penerbangan istilahnya “crosswinds”.  Sebenarnya pesawat Bombardier maskapai Garuda Indonesia yang kami naiki dari Jakarta menuju Labuan Bajo, relatif tidak mengalami banyak turbulensi, alias mulus-mulus saja. Saya bahkan beberapa kali tertidur di pesawat. Namun saat hendak mendarat, khususnya 3 menit terakhir sebelum pesawat landing, drama itu dimulai.

“Cabin crew, landing position”, seperti biasa suara pilot atau co-pilot dari cockpit. Saya menangkap suara perempuan yang menyampaikan informasi tadi. “Ini kalau bukan pilot, berarti co-pilotnya perempuan”, pikir saya. Pramugari pun segera mengumumkan kita untuk mengenakan ikat pinggang, menegakkan sandaran kursi, melipat meja, dan mematikan perangkat elektronik. Pengumuman standar sebelum pesawat mendarat. Namun hingga sekitar 30 menit, pesawat masih berputar-putar di atas dan belum menunjukkan tanda-tanda mendarat. Kepulauan Komodo samar-samar sudah terlihat dari jendela. “Mungkin pesawat sedang menunggu antrian untuk mendarat”, begitu lagi pikir saya. Tidak ada pengumuman lanjutan apapun dari cockpit pesawat. Tapi saya mulai curiga, karena di Labuan Bajo kan nggak kayak di Cengkareng yang padat pesawatnya. Ngantri sih ngantri, tapi masa sih selama ini.

Akhirnya, setelah sabar menanti, pilot sekali lagi menyampaikan pengumuman bahwa pesawat segera mendarat dan cabin crew diminta bersiap. Saat itu siang hari, waktu sekitar jam 13.00 sehingga kita bisa melihat pemandangan dari jendela pesawat. Saya merasakan pesawat terbang merendah menuju landasan. Dari jendela saya melihat pulau-pulau indah di Labuan Bajo dikelilingi oleh pantai dengan debur-debur ombak tipis yang cantik. Tak lama lagi kita akan menyaksikan dari dekat keindahan itu, pikir saya.

Pesawat terbang terus merendah dan merendah hingga saya mulai bisa melihat pemandangan di sekitar landas pacu. Namun tetiba pesawat berguncang-guncang keras, bukan seperti turbulensi, namun mirip seperti diayun-ayun ke samping dengan kencang. Terasa seperti ingin melintir begitu pesawatnya. Sontak seluruh penumpang berteriak dan sebagian besar mengucapkan doa-doa mengucap nama Tuhan. Dua gadis bule di belakang saya berteriak sambil menangis sesunggukan. Satu per satu penumpang ada yang ikut menangis. Kita berpikir yang terburuk dalam waktu sepersekian detik. Pesawat akan terhempas.

Jarak ke landasan mungkin sudah sekitar 5 atau 10 meter, karena saya bisa melihat landasan. Namun guncangan di pesawat sungguh tidak normal. Dan seketika itu juga kami merasakan pesawat bergerak semakin cepat, bukan turun dan merendah, namun malah seperti ngegas ke atas lagi. Dan betul juga, pesawat terbang ke atas lagi. Penumpang bertanya-tanya. Saling melihat, yang menangis masih menangis, yang berdoa semakin kencang. Namun kondisi pesawat sudah stabil. Terdengar pengumuman dari cockpit lagi, yang mengatakan bahwa karena kondisi angin yang kencang, pesawat tidak bisa mendarat dan kitapun dialihkan mendarat ke Mataram sekitar 40 menit lagi penerbangan. Penumpang bercampur perasaan. Walau kita semua tahu, pendaratan berbahaya tak dapat dipaksakan. Kitapun diam dan berdoa.

Kondisi angin atau crosswind sebenarnya hal biasa dalam penerbangan. Menurut kawan-kawan yang pilot ataupun info dari berbagai sumber, pesawat kerap mengalami hal tersebut. Sebetulnya bukan gagal mendarat istilahnya, melainkan “go around” atau berputar kembali. Mengutip Pilot youtuber, Vincent Raditya, di vlognya bahwa kalau pilot tidak merasa aman, maka prosedur normal yang dilakukan adalah berputar kembali. Itu prosedur aman dan yang diajarkan pada semua pilot. Karena kalau memaksakan diri mendarat, risikonya jauh lebih berbahaya. Tentunya hal tersebut adalah sebuah pilihan bijaksana dengan mempertimbangkan keselamatan penumpang dan pesawat. Jadi saya dan kawan-kawan di pesawat saat itu sangat menghargai keputusan dari pilot untuk melakukan “go around” walaupun akhirnya mengorbankan waktu harus mendarat di Mataram.

Sebagian penumpang lain ada yang mengeluh dan protes, tapi kita saling meyakinkan bahwa keselamatan adalah yang utama. Pesawat akhirnya mendarat dengan selamat di Mataram. Kita diminta menunggu (sampai waktu yang tidak tentu) di bandara dan keluar dari pesawat. Menunggu sungguh membosankan, apalagi untuk sesuatu yang tidak tentu. Bertanya pada crew-pun tidak memuaskan. Mereka hanya bilang, mohon sabar, sambil menunggu perkembangan cuaca di Labuan Bajo.

Hal baik selalu datang pada mereka yang sabar. Setelah menunggu satu jam, kita diberi kabar bahwa kondisi di Labuan Bajo sudah tenang dan pesawat dapat terbang kembali. Bismillah, kamipun berangkat kembali menuju Labuan Bajo. Matahari masih bersinar di ufuk senja. Kita masih bisa melihat pemandangan dan kondisi landasan. Dan benar, angin serta cuaca sudah membaik, pesawat mencoba lagi mendarat, semakin rendah, rendah, mendekati landasan, dan touch down dengan mulus menyentuh landasan. Seluruh penumpang bertepuk tangan panjang dan memberi apresiasi kepada Captain dan Co-Pilot yang telah membawa kami turun dengan selamat.

Secara khusus saya menghampiri cockpit, karena saya mendengar suara pengumuman dari perempuan tadi, sehingga kepo untuk mengetahui apakah betul pilot atau co-pilotnya perempuan. Ya mungkin,  sebagai instagramer kan kita juga tau ada beberapa pilot perempuan yang jadi selebgram. Dan memang betul, ternyata co-pilotnya adalah perempuan berusia 24 tahun, Tania Wijaya. Sayapun diperkenankan masuk cockpit dan mengucapkan apresiasi pada pilot dan co-pilot atas keputusan “go around” dan kemudian mendaratkan pesawat dengan selamat. Foto sebentar dengan mbak Co-Pilot, dan mengucapkan selamat sukses bagi mereka berdua.

Pengalaman tak terlupakan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *