Tulisan ini dimuat di harian KONTAN, 30 Desember 2011, hal 23
Di tahun 1998, Nick Lardy, seorang profesor dari Washington University, menulis buku yang berjudul, China’s Unfinished Revolution. Saat itu ia mengatakan bahwa revolusi ekonomi dan sistem keuangan di China masih akan terus berlangsung selama beberapa waktu ke depan.
Empat belas tahun kemudian, prediksinya terbukti masih relevan dengan keadaan di China. Perekonomian China berkembang secara pesat dan signifikan. Revolusi juga terjadi di sistem keuangan, yang semakin terbuka terhadap investor dan perbankan asing.
Namun bedanya, memasuki tahun 2012, perekonomian dunia masih diwarnai ketidakpastian. Perkembangan di Eropa dan Amerika Serikat juga belum menunjukkan titik terang penyelesaian krisis. Hal ini menyebabkan negara-negara kawasan Asia, termasuk Indonesia, berada pada posisi waspada dalam menghadapi 2012, khususnya menyikapi terjadinya perlambatan ekonomi global.
Sebetulnya, pertumbuhan ekonomi China yang pesat dalam beberapa tahun terakhir mampu mengimbangi perlambatan yang terjadi pada ekonomi global. Namun pertanyaannya adalah, masihkah China dapat menjadi “motor” bagi perekonomian global di tahun 2012? Apabila tidak, bagaimana Indonesia menyikapi perkembangan tersebut?
Beberapa pekan lalu, saya berkesempatan mengunjungi China untuk melakukan diskusi dengan para ekonom dan otoritas di sana. Dari berbagai pertemuan, ada tiga hal penting yang saya catat dari ekonomi China. Ketiga hal tersebut adalah, akan melambatnya ekonomi China, risiko gelembung sektor properti, serta peluang yang terbuka di sektor finansial China.
Pada awal Desember 2011, China melakukan pertemuan akbar yang dinamakan Central Economic Work Conference (CEWC). Pertemuan tersebut dihadiri seluruh pejabat tinggi pemerintahan, anggota politbiro, seluruh gubernur daerah, pimpinan militer, dan perbankan. Pertemuan bertujuan mencari arah ekonomi China untuk 12 bulan ke depan, dan menyepakati bahwa China akan terus menjalankan “kebijakan moneter yang berhati-hati” serta “kebijakan fiskal yang proaktif”.
Keputusan tersebut didasarkan pada tantangan yang dihadapi ekonomi China di 2012. Ekonomi China akan memasuki masa transisi, dari pertumbuhan yang signifikan di kisaran dua digit, melambat ke sekitar 8% (secara tahunan). Selain itu, perekonomian China juga akan menghadapi meningkatnya tekanan inflasi dan risiko gelembung di sektor properti. Berbagai masalah tersebut akan memaksa pemerintah China menempuh kebijakan yang berhati-hati, yang pada gilirannya mengakibatkan perlambatan laju pertumbuhan China, dan perekonomian global.
Di sisi politik, tahun 2012 adalah tahun politik di China karena akan terjadi pergantian kepemimpinan. Namun hal tersebut diperkirakan berlangsung aman dan stabil, mengingat masih solidnya Partai Komunis China (CPC), dan telah munculnya nama-nama pengganti untuk Presiden dan Perdana Menteri China. Nama Xi Jinping, yang saat ini menjabat Wakil Presiden, banyak disebut pengamat akan menggantikan Presiden Hu Jintao. Sementara nama Li Keqiang digadang-gadang untuk menggantikan Perdana Menteri Wen Jiabao.
Dengan stabilnya situasi politik 2012, meski perekonomian China menghadapi tantangan seperti di atas, stabilitas ekonomi masih akan terkendali. Kebijakan yang ketat dan sentralistis dari Pemerintah China diperkirakan mampu mencegah perekonomian China dari “hard landing” sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pengamat.
Di sisi lain, kita perlu mencermati perkembangan pasar properti China, yang masih menunjukkan risiko gelembung. Gelembung pasar properti China didukung beberapa faktor seperti meningkatnya pendapatan masyarakat, urbanisasi yang tinggi, kondisi demografi China, pilihan investasi yang terbatas, dan keuangan rumah tangga yang membaik.
Namun berbagai faktor pendukung tersebut diperkirakan berkurang di tahun 2012, sehingga kemungkinan akan terjadi penurunan harga properti di China. Pemerintah China menyadari betul tingginya risiko di sektor properti ini. Oleh karena itu, mereka mengeluarkan kebijakan untuk membatasi pembelian rumah dan properti, termasuk rencana meningkatkan pajak. Kebijakan tersebut cukup efektif menahan harga properti di beberapa wilayah sehingga risiko pecahnya gelembung diminimalisir.
Peluang bagi Indonesia
Satu hal penting lainnya yang perlu dicatat dari China adalah reformasi di sektor keuangan dan perbankannya. Selama 30 tahun terakhir, reformasi sistem keuangan di China telah mampu mengembangkan kerangka kebijakan dan tumbuhnya sektor keuangan. China kini mulai membuka diri terhadap masuknya perbankan asing.
Namun masalah yang masih mengganjal adalah ketatnya aturan dari pemerintah China, khususnya bagi perbankan asing. Pemerintah China, selama 30 tahun terakhir menempuh kebijakan gradual dalam meliberalisasi sektor keuangannya, sehingga liberalisasi dilakukan secara perlahan-lahan. Sistem keuangan di China saat ini ditandai dengan masih ketat dan besarnya peranan negara, baik dalam pengaturan suku bunga, batas pemberian kredit, maupun akses perbankan swasta ke pendanaan.
Di tahun 2012, banyak kalangan perbankan yang berharap agar pemerintah China melakukan beberapa reformasi tambahan, terutama terkait dengan kebijakan suku bunga, batas pemberian kredit, pasar utang, produk keuangan, dan governance.
Bagi Indonesia, perkembangan di China akan memengaruhi prospek perekonomian Indonesia di tahun 2012. China adalah partner dagang terbesar kedua bagi Indonesia. Dengan volume perdagangan sekitar 36 miliar dolar AS di tahun 2010, yang akan ditingkatkan mencapai 50 miliar dolar AS di tahun 2014, peranan China menjadi strategis dalam perekonomian Indonesia.
Namun, melambatnya ekonomi China, meningkatnya tekanan inflasi, serta ketentuan di sistem keuangan yang masih ketat, menjadi tantangan yang perlu kita cermati. Perlambatan ekonomi China akan membawa pengaruh pada turunnya laju ekspor Indonesia, yang dapat berdampak pada pertumbuhan ekspor dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Sementara, ketatnya aturan di bidang keuangan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi perbankan nasional kita untuk bersaing di China. Di sisi lain, kita juga perlu untuk memanfaatkan forum ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) secara optimal.
China, di tahun 2012, mungkin melambat dan menghadapi tantangan yang serius pada perekonomian domestiknya. Namun, besarnya ekonomi China masih tetap memberi peluang bagi Indonesia, terutama di sisi perdagangan bilateral dan investasi langsung.
Junanto Herdiawan
Analis Ekonomi Senior, bekerja di Kantor Perwakilan BI Tokyo