Bagi para penikmat kopi, utamanya Kopi Gayo Aceh, belum sempurna rasanya kalau belum datang langsung ke tempat ditanamnya biji kopi tersebut, yaitu di Takengon, Aceh Tengah. Sebagai salah satu penikmat kopi, saya merasakan bahwa kunjungan ke Takengon adalah sebuah “ziarah suci” yang penting dijalani untuk menggapai kesempurnaan rasa kopi. Tentunya setelah bertahun-tahun menyimpan keinginan, kunjungan itu baru dapat dilaksanakan awal September 2019 lalu. Perjalanan ke Takengon memang tidak mudah. Kalau menempuh perjalanan darat dari Aceh atau dari Medan, bisa menghabiskan sekitar 6-7 jam perjalanan. Tapi untunglah kini sudah ada penerbangan langsung dari Medan ke Takengon. Kita bisa menghemat waktu dan tenaga karena perjalanan udara hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam.
Mendarat di Takengon, saya langsung diajak oleh kawan saya, Pak Yufrizal, Kepala BI Lhokseumawe, untuk menemui Bupati Aceh Tengah, Bp Shabela Abubakar. Di ruangannya, Pak Bupati begitu bangga menceritakan kelezatan Kopi Gayo dari tanah Takengon. Menurutnya, banyak kopi di luar memberi brand atau cap Kopi Gayo, tapi dalam kenyataannya itu campuran saja. Biji kopi Gayo digunakan untuk penambah aroma rasa. Kalau murni kopi Gayo harganya tidak murah. Beberapa kali pengalaman beliau ke Jakarta dan disuguhi kopi Gayo, rasanya berbeda. Nah, langsung saja pak Bupati menawarkan dua cangkir kopi Gayo jenis pea berry kepada saya, untuk dinikmati. Hmmm, secangkir kopi Gayo di ruangan Bupati Aceh Tengah tanah Gayo, what else can you ask? …. dan sungguh, nikmat mana lagi yang kau pungkiri, kopi Gayo nya sungguh membawa kita pada puncak kenikmatan. Aroma rasanya memenuhi langit-langit mulut dan after taste menjejakkan rasa tak terperi.
Usai dari Bupati, kami diminta untuk mencicipi berbagai warung kopi, termasuk para petani kopi, di Takengon. Well, mumpung lagi di Takengon kan. Drink Drink Coffee as much as you like.
Perjalanan pertama adalah ke Ketiara Coffee untuk bertemu dengan Ibu Rahmah, pemiliknya. Di Ketiara Coffee kita bukan ke warung kopi, tetapi ke tempat pemrosesan kopi. Mulai dari ladang kopi, penggilingan, penjemuran, pengeringan, hingga proses pengepakan, ada di sana. Ibu Rahmah adalah seorang tokoh perempuan untuk masyarakat Takengon. Ia adalah pengusaha dan eksportir Kopi Gayo ke AS dan Inggris yang juga pernah tampil di acara “Kick Andy” serta menerima banyak penghargaan karena usaha kopinya ini. Ibu Rahmah mengekspor 70% kopinya ke AS dan Inggris, sekitar 100 kontainer dia kirim dalam sebulan. Penghasilannya mencapai sekitar Rp 10 miliar dalam sebulan. Dari jumlah itu, sebagiannya tentu untuk memperbaiki nasib para petani kopi di Takengon. Bu Rahmah sangat peduli pada nasib kaum perempuan di Takengon. Oleh karenanya ia mendidik kaum perempuan untuk turut mengolah kopi. Selain itu, ia juga mengajari perempuan untuk pandai mengelola keuangan. Pesannya selalu bahwa perempuan harus memegang dan mengelola finansial keluarga. Hanya dengan itulah taraf hidup dapat ditingkatkan.
Ibu Rahmah mendirikin Koperasi Ketiara untuk memantapkan usaha kopinya. Anggota Ketiara kini sudah mencapai sekitar 3000 petani. Produk kopinya dapat menembus pasar AS dan Eropa karena memenuhi standar internasional. Para pembeli dari luar negeri datang langsung ke Takengon untuk melihat caranya memproses kopi. Petugas inspeksi Food and Drug Association (FDA) dari AS juga ikut mengecek biji kopi di Ketiara. Persyaratan organik 100% memang membutuhkan standar yang tinggi. Dan ibu Rahmah menjamin seluruh biji kopinya organik.
Bagaimana rasanya? Hmmm, secangkir kopi ketiara disajikan langsung, diseduh dan siap saya seruput. Tidak ada lagi rasanya kesulitan dan beban hidup saat menyeruput kopi Gayo di Ketiara. Organik, otentik, dan sungguh bold rasa yang dihasilkan. Sempurna.
Kunjungan selanjutnya adalah ke Oro Coffee Gayo. Ini adalah sebuah tempat pemrosesan, roasting biji kopi. Kalau di Ketiara tidak menjual biji kopi karena ditujukan untuk ekspor, sebaliknya di Oro Kopi Gayo dijual beraneka biji kopi. Buat kalian yang ingin membawa oleh-oleh biji kopi, di sini tempatnya. Ada berbagai macam rasa, mulai dari pea berry, wine coffee, honey coffee, hingga kopi luwak. Setelah memilih biji kopi (green bean), mereka akan langsung memanggang (roasting) sesuai dengan selera kita, apakah mau light, mild, atau dark.
Dari Oro Kopi Gayo, kita berjalan naik melewati kelok-kelok pegunungan Takengon dan tiba di Seladang Kafe. Ini kafe yang unik sekali, karena taglinenya adalah “Ngopi di Kebun Kopi”. Betul saja, kafe ini terletak di tengah kebun kopi yang terhampar luas. Kita dapat duduk di sekitar tanaman kopi sambil menyeruput secangkir kopi. Kita ditemui pemilik kafe, Pak Sadikin yang juga lebih senang dipanggil dengan sebutan Pak Gembel. Baginya, kopi itu connecting people. Lewat kopi, persaudaraan dan silaturahmi terbangun dan terjaga. Ia merancang Seladang Kopi untuk tujuan mulia itu. Dari sekitar hanya dua bangku, kini kafenya dibuat nyaman dan cozy, lengkap dengan satu perapian untuk membakar api penghangat. Ya, udara di Takengon kan sejuk, jadi perapian ini menambah indah suasana.
Pak Gembel menyajikan satu minuman andalannya, yaitu Sanger Kopi Gayo. Ini adalah kopi tradisional Aceh, kopi dan susu. Tapi ia menggunakan kopi Arabika Gayo yang diproses dari kebunnya sendiri. Keunikan lainnya, ia menambahkan kayu manis (cinnamon) untuk menambah cita rasa. Hmmm, ini kopi jagoan menurut saya. Rasanya betul-betul kaya, ada rasa jejak kopi, susu, sedikit manis, dan tentunya keharuman cinnamon yang menambah indah. Selain Sanger Coffe, kami juga ditawari Cold Brew Wine Coffee. Nah ini luar biasa. Aroma yang timbul mirip banget dengan Wine, seperti anggur merah. Namun Pak Gembel meyakinkan bahwa itu Wine Syariah, alias halal 100%. Proses pembuatannya adalah dengan melakukan fermentasi pada buah kopi (tanpa dikupas kulitnya) sehingga manis dari buahnya menyerap ke dalam biji. Hmmm, pantes saja ada aroma manis dan bau yang kuat. Saya rekomendasikan kawan-kawan untuk mencoba Cold Brew Wine Coffee di Seladang ini.
Dari Seladang, saya diundang oleh kawan saya yang tinggal di Takengon, yaitu Pak Syukri. Beliau adalah sahabat lama yang saya kenal dari Kompasiana sebagai sesama Blogger. Pak Syukri dan saya, sejak tahun 2010, selalu saling memberi komen pada tulisan kita di Kompasiana. Kitapun menjadi saling akrab dan pernah bertemu sekali di Banda Aceh pada tahun 2014. Setelah itu saya berjanji mampir Takengon dan Pak Syukri berjanji akan meracikkan kopi spesial. Janji itu akhirnya, Alhamdulillah, tertunaikan kemarin. Sengaja kita memilih kopi Pak Syukri yang terakhir, agar bisa lebih lama menghabiskan waktu dan menikmati racikan kopinya.
Pak Syukri membuka sebuah kafe kopi kecil di rumahnya, yang dinamakan Kopi Negeri Takengon. Dari kafe ini dulu Kang Pepih Nugraha (pendiri Kompasiana) mencetuskan judul buku “Hikayat Negeri Kopi” yang merupakan kumpulan tulisan Pak Syukri di Kompasiana tentang Kopi Gayo. Buku ini menarik dan memberi kita banyak pandangan tentang hikayat kopi Gayo.
Pak Syukri membuatkan secanggir Gayo Cappuccino. Ia dibantu oleh putranya, Wadyan, yang juga telah mendapatkan sertifikasi barista. Daaaan, memang betul, Gayo Cappuccino di Kafe Negeri Kopi adalah satu minuman terbaik dunia yang pernah saya coba. Kelezatan kopi gayo, ditambah campuran susu, sangat kaya rasa, mengeluarkan aroma buah yang kuat, dan membawa kita pada puncak kenikmatan.
Suasana di Negeri Kopi juga sangat “homey” karena kafe itu dibuat di ruang tamu rumah pak Syukri. Tak heran suasananya terasa sekali seperti di rumah sendiri. Tanpa sadar kita berlama-lama di sana.
Sehari di Takengon, lebih dari 10 cangkir kopi dengan berbagai rasa saya minum. Semuanya Kopi Gayo yang asli. Overdrink? Kebanyakan minum kopi? Well, bukankan itu tujuan kita ke Takengon. Untuk mencicipi semua kopinya. Untuk mabuk kopi, semabuk-mabuknya. Untuk menyesap kopi, sesesap-sesapnya. Hanya dengan mencicipi, kita merasakan. Mereka yang merasakan, hidup.
Karena kopi di sana, adalah kopi terbaik di dunia. Rasakan dengan Cinta. Ayo ke Gayo!