Tulisan ini dimuat di harian KONTAN, 8 April 2011
Semenjak terjadi krisis reaktor nuklir Fukushima, yang terletak di wilayah timur laut Jepang, masa depan energi nuklir berada dalam kegamangan. Bayangan tragedi Three Mile Island di Amerika Serikat (1979) dan Chernobyl di Ukraina, bekas wilayah Uni Soviet (1986) terasa bangkit kembali. Dunia kemudian dihinggapi oleh kecemasan akan keselamatan reaktor nuklir dan bahaya radiasi pada kehidupan manusia.
Sesaat setelah terjadi bencana di Fukushima, Amerika Serikat, India, dan Korea Selatan langsung melakukan review terhadap standar keamanan pada seluruh reaktor nuklirnya. Jerman menghentikan tujuh dari tujuh belas reaktor yang dimilikinya. Taiwan mengundurkan jadwal operasi reaktor barunya. Italia melakukan “penilaian kembali” perlunya memiliki reaktor nuklir. Sementara Cina menghentikan sementara pembangunan semua reaktor nuklir barunya.
Rencana pembangunan reaktor nuklir di beberapa negara juga untuk sementara dihentikan. Hanya ada dua negara di Asia Tenggara yang mengindikasikan akan terus memiliki reaktor nuklir, yaitu Indonesia dan Vietnam.
Para pengambil kebijakan kini berada pada posisi yang sulit karena menghadapi tekanan publik akan keselamatan reaktor nuklir mereka. Hal inilah yang juga menjadikan banyak negara mulai mempertimbangkan keberadaan reaktor nuklirnya. Pertemuan pemimpin negara-negara industri maju G-8, yang dijadwalkan Mei mendatang, akan membahas secara khusus tentang standar keamanan reaktor nuklir dan masa depan energi nuklir.
Dibandingkan dengan gas dan batu bara, nuklir diyakini sebagai sumber energi masa depan yang harganya lebih murah dan memiliki emisi karbon yang jauh lebih rendah. Para ilmuwan juga mengatakan bahwa nuklir untuk kepentingan energi, memiliki “daya damai” yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Kitapun menyaksikan masa kebangkitan nuklir (nuclear renaissance) sebelum tragedi Fukushima terjadi.
Saat ini ada sekitar 440 reaktor nuklir yang beroperasi di 31 negara, dan menyumbang sekitar 15% energi listrik dunia. Sebanyak 63 reaktor sedang dibangun, dan lebih dari 158 lainnya dalam proses pengajuan untuk didirikan di berbagai negara. Alasannya masuk akal, bahwa upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi, membutuhkan energi yang berkesinambungan dengan emisi karbon yang rendah. Apalagi ke depan bahan bakar fosil akan semakin langka dan habis.
Namun, dampak dari langkah berbagai negara untuk menimbang ulang pembangunan reaktor nuklir tersebut menjadikan masa depan energi nuklir berada dalam ketidakpastian. Hal ini juga tercermin dari anjloknya harga uranium dunia. Pascatsunami Jepang, harga uranium turun menuju titik terendah pada tanggal 17 Maret 2011, menyentuh level 49.74 dolar AS/lb. Pada masa kebangkitan industri nuklir di tahun 2007-08, harga uranium pernah menyentuh rekor tertinggi, mencapai 136 dolar AS/lb, sebelum kemudian turun karena krisis ekonomi global. Menurut Asosiasi Nuklir Dunia, permintaan uranium dari sembilan negara penghasil uranium pada tahun 2009 mencapai sebesar 5,4 juta metrik Ton.
Dari sisi perekonomian, ketersediaan energi listrik menjadi salah satu variabel penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Berbagai industri manufaktur hanya akan bisa tumbuh dan berkembang di tempat yang menyediakan pasokan energi murah dan berkesinambungan. Hal inilah yang membuat beberapa negara, seperti Cina dan Vietnam terus berpacu membangun reaktor nuklir.
Cina telah melakukan investasi yang agresif di bidang reaktor nuklir. Data dari Asosiasi Nuklir Dunia menunjukkan bahwa di Cina, sebanyak 27 reaktor sedang dibangun, 50 reaktor sedang dalam proses perencanaan, dan 110 reaktor sedang diajukan untuk mendapat persetujuan pemerintah.
Saat ini Cina memiliki 13 reaktor nuklir yang sudah beroperasi dan menghasilkan 65,7 terrawatt hours (TWh) kebutuhan listrik di tahun 2009, yang hampir mencapai 2% dari kebutuhan total energi di Cina. Dengan bangkitnya perekonomian Cina menjadi kekuatan ekonomi nomor 2 dunia, pihak Beijing terus menggenjot jumlah reaktor nuklirnya guna memenuhi target 5% pangsa energi nuklir di tahun 2020. Permintaan energi Cina diperkirakan meningkat sebesar 75% antara tahun 2008 hingga 2035.
Dalam draft Pembangunan Lima Tahun ke-12 yang dikeluarkan awal Maret lalu, pemerintah Cina menargetkan tambahan kapasitas listrik sebesar 40 gigawatt dalam rentang 2011-2015, atau empat kali lebih besar dari ketersediaan listrik di tahun 2010. Namun, dengan terjadinya bencana di Fukushima, nampaknya pihak Cina untuk sementara akan menangguhkan berbagai proyek nuklir tersebut.
Pelajaran dari Fukushima
Ditangguhkannya berbagai proyek nuklir di banyak negara tersebut menunjukkan bahwa meski energi nuklir memiliki “daya damai” yang bermanfaat, segi keselamatan tetap menjadi prioritas. Berbagai tragedi yang terjadi di reaktor nuklir menyisakan pertanyaan akan harga yang harus dibayar dari kenyamanan yang kita dapat dari teknologi nuklir tersebut.
Pelajaran yang dapat kita petik dari kasus Fukushima ini jelas. Di satu sisi, standar pengamanan dan budaya pengelolaan disiplin menjadi syarat utama dalam pengelolaan reaktor nuklir. Namun di sisi lain, kemungkinan bencana alam terburuk, termasuk gelombang tsunami, juga perlu dipikirkan dalam pembangunan reaktor nuklir. Apalagi beberapa negara yang memiliki reaktor nuklir justru berada di wilayah “ring of fire” yang rawan dengan bencana gempa, tsunami, dan gunung berapi. Berbagai risiko tadi belum mempertimbangkan risiko lainnya, seperti ancaman terorisme. Bila terjadi serangan teroris pada reaktor nuklir, dampaknya tentu akan sangat fatal.
Pada ujungnya, pembangunan reaktor nuklir memerlukan banyak pertimbangan, bukan hanya dari sisi tekhnis operasional, namun juga dari sisi ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, masa depan energi nuklir ke depan diperkirakan masih akan tumbuh, namun secara moderat.
Beberapa negara, seperti Perancis yang tingkat ketergantungannya terhadap nuklir mencapai 75%, Finlandia, dan Belanda, masih akan jalan terus dengan program nuklirnya. Negara tersebut juga diperkirakan akan meningkatkan investasi untuk membangun reaktor nuklir generasi baru, yang diyakini lebih aman dan tahan terhadap bencana alam. Namun di sisi lain, pembangunan beberapa reaktor kemungkinan akan terhambat atau dihentikan seiring dengan dilakukannya pengetatan syarat-syarat keamanan.
Bencana di Fukushima menunjukkan bahwa Jepang, negara yang paling disiplin, paling baik perencanaannya terhadap bencana, dan salah satu yang paling kompeten dalam pengelolaan reaktor nuklir, tampak “gagap” dalam menghadapi krisis nuklir Fukushima. Kegelisahan, kengerian, dan ketakutan, sempat dirasakan pada penduduk Jepang, dan ikut menyebar ke seluruh dunia. Kiranya berbagai hal itu perlu dipertimbangkan oleh setiap negara yang ingin membangun reaktor nuklirnya.
Junanto Herdiawan, Analis Ekonomi, tinggal di Tokyo, Jepang