Pak Tua Jiro dan Sushi Ter-enak Sedunia

Pak Tua Jiro (tengah) dalam Film Jiro Dream of Sushi / photo: Jiro Dream of Sushi

Buat teman-teman yang sempat mampir di Tokyo dan pernah saya ajak mencicipi sushi di pasar ikan Tsukiji, saya harus mohon maaf karena pernah meng-klaim sushi itu sebagai sushi ter-enak sedunia.  Rupanya betul apa kata pepatah, “di atas langit masih ada langit”, karena baru-baru ini saya menemukan lagi satu warung sushi legendaris, dan menurut saya masuk dalam kategori “die die must try” di Tokyo. Kalau yang kemarin itu ter-enak sedunia, mungkin sushi ini bisa di-klaim sebagai sushi ter-enak sejagat.

Sayangnya, tak mudah untuk bisa makan di situ. Selain soal harganya yang selangit, atau hampir 300 dolar AS untuk satu set sajian (sekitar 15 potong sushi), kita juga harus melakukan reservasi, minimal tiga bulan sebelumnya. Kalau langsung go-show, jangan harap bisa mendapat tempat duduk.

Warung itu bernama Sukiyabashi Jiro, yang dimiliki oleh seorang tua bernama Jiro Ono. Usianya 85 tahun. Warung, yang terletak di basement gedung daerah Ginza,  berukuran kecil dan hanya bisa memuat 10 orang saja. Meski kecil dan letaknya terpencil, warung itu sangat istimewa. Apa yang membuatnya istimewa?

Bukan semata soal rasa dari sushi, tapi juga soal kecintaan Jiro-san pada sushi. “Jiro terlahir untuk Sushi” dan “Sushi terlahir untuk Jiro”. Selama 75 tahun, Jiro-san mendedikasikan hidupnya untuk membuat Sushi. Ia adalah seorang Master Sushi Tingkat Dewa. Bukan hanya sekedar membuat sushi, tapi ia membuat sushi terenak sedunia.

Karena dedikasinya itu juga, pemerintah Jepang kemudian menobatkan pak Tua Jiro sebagai “National Treasure” Jepang untuk dunia sushi. Ia juga adalah satu-satunya chef di Jepang yang menerima tiga bintang dari Michelin Guide. Itu adalah penghargaan tertinggi di dunia kuliner yang diberikan oleh pihak Michelin Guide dari Perancis. Tak banyak chef yang mampu meraih penghargaan setinggi itu, apalagi untuk seorang chef asing.

Saya beruntung bisa bertemu dengan Yoshikazu-san, anak tertua dari Pak Tua Jiro, saat mengunjungi Sukiyabashi Jiro suatu hari. Wajah Yoshikazu mirip ayahnya, tegang, dingin, dan serius. Ia akan mewarisi warung Jiro, sepeninggal Jiro nanti. Yoshikazu-san bercerita bahwa selain warung kecil ini, adiknya mengelola satu warung lagi di daerah Roppongi. Katanya, antrian di Roppongi  tak sepanjang di Ginza. Kita bisa reservasi minimal satu bulan sebelumnya (lah itu sih lama juga menurut saya hehehe).

Kehebatan Pak Tua Jiro ini mengguncang dunia kuliner internasional. Tak kurang dari David Gelb, seorang sutradara film, membuat film dokumentasi tentang Jiro-san. Film, yang berjudul “Jiro Dreams of Sushi” dirilis tahun ini di Jepang. Selama satu tahun, David Gelb merekam kehidupan Jiro-san dari bangun tidur hingga tidur lagi. Film itu bercerita tentang dunia sushi Jiro-san, dan bagaimana ia mendedikasikan hidupnya pada sushi. Film ini juga membawa pesan tentang sebuah visi masa depan berdasarkan kecintaan dan keseriusan pada pekerjaan.

Jiro adalah seorang perfectionist, yang tak pernah puas. Ia pergi sendiri setiap pagi ke pasar ikan tsukiji untuk memilih ikan yang akan disajikan di warungnya.  Hanya ikan yang sempurna yang layak disajikan di warung sushinya. Meski usianya sudah 85 tahun, sudah terkenal, dan meraih banyak penghargaan, Jiro tak pernah puas dengan pencapaiannya. Di film itu, pak tua Jiro berkata bahwa ia tak mau berhenti memperbaiki diri. Setiap hari baginya adalah upaya memperbaiki diri. Ia merasa masih memiliki banyak kekurangan dan belum mencapai kesempurnaan. Hal itulah yang membuat  Jiro tak pernah berhenti dan tak pernah puas.

Tuna (Maguro) Sushi / photo Jiro Dream of Sushi

Sushi di warung Jiro disajikan bak sebuah “konser klasik”, penuh ritual dan penghayatan. Kita cukup datang dengan perut kosong, dan Jiro-san akan memilihkannya untuk kita. Jiro mencermati setiap pelanggannya, ia tahu secara detail sejarah dari semua sushi yang ia buat. Ia bahkan memijat tentakel gurita selama 45 menit, persis 45 menit dan bukan 30 menit, sebelum dibuat menjadi “tako-sushi” yang lembut. Itu dilakukan dari hari ke hari tanpa bosan.

Bagi saya, film dokumenter ini wajib ditonton, bukan hanya para penggemar sushi, tapi juga untuk kita semua (saya tidak tahu apakah film ini diputar atau dijual DVD-nya di Indonesia). Film ini mengajarkan kisah tentang kedisipilinan, proses ritual, dan obsesi pada pekerjaan, yang juga menjadi ciri orang Jepang.

Melihat bagaimana Jiro mendedikasikan diri pada pekerjaannya, kita bisa bercermin. Di tengah ketatnya persaingan warung sushi di Jepang, di tengah ambisi orang lain pada karir dan kesuksesan, Jiro seolah tak peduli. Baginya, ia hanya ingin melakukan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya.

Kiranya filosofi Jiro ini menarik untuk kita renungkan bersama. Kadang kita, dan saya sendiri tentunya, kerap mengeluh soal pekerjaan, soal karir, dan banyak keluhan lainnya. Keluhan itu, menurut Jiro-san, hanya berakhir pada kegagalan dan pekerjaan yang setengah-setengah. Kita jadi kehilangan esensi “bersenang-senang” dalam pekerjaan.

Sayapun jadi teringat pesan dari Confusius, “Find a job you love, and you will never have to work a day in your life”. Jiro memilih hidupnya untuk sushi, dan itu ia lakukan dengan sepenuh hati. Bekerja, pada akhirnya menjadi bagian dari bersenang-senang dan merayakan kehidupan.

Semoga kita semua bisa belajar dari Pak Tua Jiro, bekerja dengan senang, penuh cinta, dan hanya “sedikit” mengeluh  … Sebagaimana pesan Jiro-san di ujung film, “You have to love your job. You must fall in love with your work”. Saya sih optimis, kalau semangat itu menyebar pada setiap insan di negeri ini, apapun yang terjadi pada bangsa, kita tetap bisa berdiri tegak dan bermanfaat.

Dan semoga semangat bekerja itu juga semakin meningkat di bulan puasa. Selamat menjalankan ibadah puasa, mohon maaf lahir bathin. Selamat Merayakan Kehidupan!

 

 

3 comments

  1. Aku tau film ini seminggu sebelum kembali, udah sempet nekad mo ke ginza buat nyicip… emang enak bener ya mas?

  2. Saya rasa, butuh waktu lama untuk menemukan pekerjaan yang kita sukai. Butuh kedewasaan. Saya sendiri belum menemukannya. Masih terjebak rutinitas dan tidak tahu kapan saya bisa sepenuhnya menikmati pekerjaan yang benar-benar saya suka.

Leave a Reply to Junanto Herdiawan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *